wanita

[GENDER]

Gender

“Tidak adil” dan “tertindas” adalah dua bekal gerakan feminism dan kesetaraan gender. Wanita diseluruh dunia ini dianggap tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Wajah peradaban umat manusia memang diwarnai oleh dua kata tersebut. Tapi masing-masing peradaban memiliki solusi masing-masing.
Islam lahir disaat peradaban jahiliyah tidak dan salah menghargai wanita. Anak wanita yang tidak dikehendaki harus dikubur hidup-hidup. Tapi wanita saat itu juga berhak menikah dengan 90 orang suami. Keperkasaan Hindun, otak pembunuhan Hamzah, sahabat Nabi, adalah bukti keperkasaan wanita.

Itulah sebabnya tidak ada alasan bagi Islam untuk menyamakan hak laki dan wanita secara mutlak 50-50. Misi Islam tidak hanya membela wanita tertindas tapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya. Meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam Islam, disifati sebagai adil. Islam justru meneguhkan hubungan laki dan wanita dengan merujuk pada watak dasar biologis dan implikasi sosialnya.

Barat lahir disaat wanita ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Sebutan feminis, konon memiliki akar kata fe-minus. Fe artinya iman, minus artinya kurang. Feminus artinya kurang iman. Terlepas dari sebutan itu, yang pasti nasib wanita di Barat sungguh buruk. Mayoritas korban inquisisi adalah wanita. Wanita dianggap setengah manusia. Contoh kasus penindasan tidak sulit untuk ditelusur lebih lanjut.

Dari negara-negara Barat solusi tidak lahir dari ajaran agama. Solusinya datang dari tuntutan masyarakat wanita, berbentuk gerakan feminisme. Mulanya hanya ingin memberantas penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan. Tapi, tidak puas dengan itu, para feminis di London tahun 1977 merubah strategi. Mungkin mengikuti teori Michael Foucault, feminism bisa menghemoni dunia dengan menjual wacana gender (gender discourse). Persis seperti Amerika memberantas teroris. Biaya meliberalkan pikiran umat Islam lebih murah dibanding biaya menangkap teroris.

Nalarnya cemerlang, penindasan dipicu oleh pembedaan dan pembedaan disebabkan oleh konstruk sosial, bukan faktor biologis. Jadi, target wacana gender adalah merubah konstruk sosial yang membeda-bedakan dua makhluk yang berbeda itu.

Konon, gender juga membela laki-laki yang tertindas, tapi ketika wacana ini masuk PBB tahun 1975 konsepnya berjudul Women in Development (WID). Sidang-sidang di Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995) malah meningkat menjadi Convention for Eliminating Discrimination Against Women (CEDAW), bukan CEDAM. Namun, ketika dijual ke pasar internasional programnya diperhalus menjadi Gender and Development. Dan ketika menjadi matrik pembangunan menjadi Gender Development Index (GDI). Suatu Negara tidak bisa disebut maju jika peran serta wanita rendah. Untuk mengukur peran politik dan social lain wanita dibuatlah neraca Gender Empowerment Measure.

Indonesia, tak ketinggalan segera ikut arus. Pemerintah lalu membuat Inpres No.9/2000 tentang pengarus utamaan Gender dalam pembangunan. Kini bahkan sudah akan menjadi undang-undang. Padahal enam Peraturan Pemerintah, empat Peraturan dan satu Instruksi Menteri serta satu kebijakan Kementerian tidak berjalan. Tidak semua wanita menginginkan kesetaraan.

Memang preseden historis gerakan ini memang hanya di Barat. Gerakan seperti ini tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Tapi, wacana ini tiba-tiba menjadi universal dan menjelma menjadi gerakan internasional dan wajib diikuti oleh umat Islam. Bahkan ketika wacana kesetaraan gender ini disorotkan kepada agama-agama semua agama seperti diam. Semua agama bias gender. Nyatanya memang dalam Islam tidak ada Nabi wanita, dalam Katholik tidak pernah ada Paus wanita. Juga sami dalam Hindu, Bhiksu dalam Buddha adalah laki-laki.

Ketika Negara-negara di dunia diukur prosentase kesetaraan gendernya, tidak ada satu negarapun yang dapat mencapainya secara sempurna. Jika pun tercapai tidak menjadi indikasi bahwa Negara itu maju. Keterlibatan wanita di negara Cuba dibanding Jepang terbukti lebih tinggi, tapi tidak terbukti Jepang lebih mundur. Bahkan Indonesia lebih besar dari Jepang atau sama, tapi tidak ada pengaruh pada kemajuan.

Di Indonesia wanita-wanita di kampung dianggap tertindas karena mereka mengerjakan kerja laki-laki. Tapi di Pakistan, khususnya di kawasan utara, wanita tidak boleh bekerja dan hanya tinggal dirumah. Ini pun dianggap tertindas.

Masyarakat Islam secara konseptual maupun historis tidak menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Dihadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surgaNya. Meski tidak berarti peran wanita dalam Islam dikalahkan oleh laki-laki, Islam mengatur peranaan sosial wanita dari aspek yang paling mendasar yiatu biologis. Sebab dalam konsep Islam aspek biologis terkait erat dengan aspek psikologis dan bahkan saling mempengaruhi.

Bahkan, seperti dikutip Ratna Megawangi, Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel berjudul The Real Truth About Women Bodies. Ide pokoknya wanita secara alamiyah, biologis dan genetik memang berbeda. Tidak mudah merubah factor ini dalam kehidupan social wanita. Maka dari itu perjuangan meraih kesetaraan gender bukan hanya tidak mungkin tapi juga tidak realistis.

Jika demikian adanya, kita berhak bertanya. Apakah gerakan pengarus utamaan gender benar-benar untuk membela kepentingan wanita sesuai aspirasi dan kodratnya? Ataukah hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan tren kultural dan ideologis dunia yang kini dibawah hegemoni Barat? Pendek kata apakah wanita benar-benar memerlukan kesetaraan?

Bagi Muslim apa yanag salah pada gerakan ini? Salahnya ketika merubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Tafsir-tafsir para pemikir liberal bersifat sepihak, tendensius dan melawan arus para mufassir yang otoritatif dalam tradisi ulama Islam. Jika para anggota DPR meluluskan undang-undang ini tanpa mempertimbangkan dampak keagamaan maka Undang-undang itu dijamin sedang menabur angin dan segera menuai badai. Wallahu a’lam.

[Oleh Dr. Hamid Fahmy- Direktur INSIST, Jurnal ISLAMIA- Republika, Kamis 22 Maret 2012]

Wanita Butuh Kedilan,, Bukan Kesetaraan #Gender

Sahabat, akhir-akhir ini sedang maraknya kabar mengenai pengukuhan RUU kesetaraan gender,,
waaah,, apa tuh? penasaran?,, #Mari kita kaji ia!! gunakan kaca mata pandangan yang benar agar tak salah faham, asal tuduh-tuduhan aja….
Perlukah kesetaraan gender bagi Wanita? ayo yang merasa dirinya wanita jawab,?
Setelah membaca isi dari RUU ini, terlihat pemikiran yang dangkal, liberal dan melecehkan dari sisi fungsional seorang wanita.
“Pasal 2
Lingkup Kesetaraan Gender
Lingkup kesetaraan gender ini meliputi tetapi tidak terbatas pada: kesetaraan gender di bidang hukum dan kebijakan, pendidikan, media dan informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, perkawinan, kewarganegaran, politik dan kehidupan publik, ekonomi, sosial dan budaya, lingkungan dan sumber daya alam; perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender; perlindungan bagi kelompok rentan dan/atau minoritas serta berkebutuhan khusus; dan tindakan khusus sementara untuk kesetaraan gender.”
Kesetaraan yang diusungkan semuanya hampir menembus setiap penjagaan dari kehormatan seorang wanita. Apa yang sebenarnya dimaksudkan dari kesetaraan gender di Bidang hukum dan kebijakan yang diusungkan? Mari lihat lebih dalam tentang perkembangan wanita di parlemen indonesia. berikut ini berita yang saya kutip dari bbc.co.uk. (7 Maret 2011)
Dari 650 anggota DPR saat ini, 101 kursi (18,03%) diduduki politisi perempuan dari berbagai partai. Ini merupakan kenaikan terus-menerus dari pemilu 2004, ketika jumlah politisi perempuan di DPR mencapai 11,6%, sementara hasil pemilu 1999 baru mendudukkan 8,6% perempuan di DPR.

Meski demikian, banyak yang meragukan kalau kenaikan proporsi itu sejalan dengan semakin tingginya perhatian terhadap persoalan yang dihadapi perempuan di Indonesia.
Dalam sebuah portal berita news.detik.com pun memaparkan bahwa walaupun telah banyak wanita yang ‘menyumbang diri’ dalam bangku parlemen, faktanya tak memberi hasil yang lebih baik. Kalau RUU ini berusaha berkiblat pada apa yang terjadi di negera-negara barat, seharusnya malu untuk mengatakan ini. Dalam sebuah portal berita yang bertopik wanita di parlemen ini juga mengatakan:

The five permanent members of the U.N. Security Council ranked in the middle of the pack. Russia has 13.6 percent female representation, the United States 16.8 percent, France 18.9 percent, China 21.3 percent and Britain 22.3 percent.

Sedangkan kabar terupdate tentang jumlah wanita Indonesia di bangku parlemen ternyata telah menduduki posisi juara, dengan prosentasi 30%. Tapi toh terbukti tidak ada jaminan pemerintahan dan realisasi aspirasi rakyat menjadi lebih baik. apa kemudian yang menjadi landasan berpikir untuk RUU ini?

Wanita memang harus mendapatkan keadilan. Sekali lagi, keadilan harus ditegakkan. Kita tentu setuju dengan penegakkan keadilan. Tapi keadilan bagi wanita sesungguhnya bukan tentang kesetaraan gender. Tapi tentang bagaimana wanita bekerja, memiliki posisi, berkreasi dan hidup sesuai kodratnya. Wanita memiliki kemuliaan tersendiri sebagai pendidik dua generasi, yaitu suami dan anaknya. Ini adalah karir puncak wanita. Tidak ada yang bisa menggantikan, tidak ada yang bisa melakukannya selain wanita itu sendiri.
Wanita memiliki hak dan kecenderungan yang berbeda dengan kaum pria. Hal ini sudah dipercaya oleh sebagian masyarakat umum di negeri ketimuran ini. Kaum wanita inilah posisi penting dalam sebuah negara sebagai pembangun peradaban, bukan sebagai pengisi bangku parlemen saja. Banyak sekali peran wanita yang lebih optimal.
Mari kita berpikir lagi, ketika seorang wanita parlemen begitu berkoar-koar menyuarakan aspirasi rakyatnya, masihkah ia memperhatikan juga keluarganya? Saya kagum kepada wanita yang aktif berorganisasi tapi memiliki prestasi sebagai ibu rumah tangga yang baik. Tugas utama seorang ibu adalah melahirkan, merawat dan memenuhi hak anaknya. Ketika kewajiban ini sudah terpenuhi, tak apa jika ingin mencoba memperjuangkan rakyatnya di bangku parlemen. Baik sadar atau tidak, melakukan kewajiban seorang wanita juga merupakan ‘perjuangan sejati’ untuk kemajuan sebuah negara.
*Sedikit Gubahan dari sini